Rabu, 22 Mei 2013

khiyar



BAB I
PENDAHULUAN
Segala puji kita hanya serahkan kepada Allah SWT yang telah mamberi kita nikmat dunia ini yang tak terhitung nilainya, solawat serta salam  semoga Allah SWT limpahkan kepada junjungan nabi kita Muhammad SAW, sebagai pemawa syariat islam diyakini, dipelajari, dan dihayati serta diamalkan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak lepas dari teransaksi jual-beli, agar jual-beli tidak saling merugikan kita biasanya mendapatkan pertimbangan bagi si pembeli, dan bagi si penjuam memberi pertimbangan untuk memilih. Dalam islam pertimbangan atau memilih itu disebut khiyar, banyak macam-macam khiyar dalam islam, untuk lebih jelasnya pemakalah akan membahas beberapa khiyar yang populer atau biasa digunakan oleh masyarakat.
Semoga makalah yang kami buat ini memberikan pengetahuan bagi kami yang membuat, dan bagi temen-temen yang membaca. Adapun bilamana ada kesalahan atau kekeliruan dalam penulisan makalah ini kami sebagai pemakalah mengharapkan saran dan kritiknya dari pembaca, dan kamipun mengharap nasehatnya untuk perbaikan makalah kami.  Atas perhatiannya kami haturkan banyak terima kasih.
RUMUSAN MASALAH
1.      Bagimana khiyar menurut hukum islam
2.      Apa manfaat khiyar bagi masyarakat

               







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Khiyar
Kata al-khiyar dalam bahasa arab berarti pilihan[1]. Adapun dalam buku lain diartikan sebagai berikut: khiyar secara bahasa adalah kata nama dari ikhtiyar yang berarti mencari yang baik dari dua urusan baik meneruskan akad atau membatalkannya. Sedangkan menurut istilah kalangan ulama fiqih yaitu mecari yang baik dari dua urusan yang baik berupa meneruska atau membatalkannya[2]. Pembahasan al – khiyar dikemukakan para ulama fiqh dalam permasalahan yang menyangkut transaksi dalam bidang perdata khususnya transaksi ekonomi, sebagai salah satu hak bagi kedua belah pihak yang melakukan transaksi (akad) ketika terjadi beberapa persoalan dalam transaksi dimaksud.
B.     Macam-Macam Khiyar
Terdapat beberapa pendapat ulama mengenai macam-macam kkhiyar itu sendiri sesuai dengan perspektif masing-masing dalam mengklasifikasikan jenis-jenis khiyar,di antara pendapt tersebut adalah sebagi berikut :
1.Khiyar majelis
Secara bahasa majelis berarti tempat duduk,bila dikaitkan dengan khiyar maka memilki arti  hak untuk meneruskan atau membatalkan jual beli selama penjual dan pembeli belum berpisah atau keduanya mesih bersama-sama ditempat tersebut[3], seperti yang ditegaskan rosulullah dalam beberapa hadistnya diantaranya:
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَفْقَةَ خِيَارٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفَارِقَ صَاحِبَهُ خَشْيَةَ أَنْ يَسْتَقِيلَه
 “Pembeli dan penjual (mempunyai) hak khiyar selama mereka belum berpisah, kecuali jual beli dengan akad khiyar, maka seorang di antara mereka tidak boleh meninggalkan rekannya karena khawatir dibatalkan.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 2895, ‘Aunul Ma’bud IX: 324 no: 3439 Tirmidzi II: 360 no: 1265 dan Nasa’i VII: 251).
Begitu juga sabda nabi :
“Dari Amar Ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar sebelum keduanya berpisah, kecuali telah ditetapkan khiyar dan masing-masing pihak tidak diperbolehkan pergi karena takut jual-beli dibatalkan.” Riwayat Imam Lima kecuali IbnuMajah, Daruquthni, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu al-Jarus.Dalam suatu riwayat: “Hingga keduanya meninggalkan tempat mereka.”
a.      Batas berlakunya khiyar majelis
Berdasarkan hadist di atas,dapat disimpulkan bahwa rosulullah tidak menentukan atau menetapkan makna perpisahan yang menjadi batasan selesainya transaksi,apakah ketika mereka berpindah dari majelis ataukah saling berpisah badan atau hanya pada adanya kesepakatan berakhirnya akad.
Mengenai masalah ini As-suyuthi berkata,” ulama ahli fiqh menyatakan :setiap hal yang disebutkan secara mutlak dan tidak disebutkan batasannya dalams yariat dan tidak juga dalam syariat maka pembatasanya dikembalikan kepada ‘urf”.
Dari sini dapat diambil keimpulan bahwa batasan dari khiyar majelis itu diserahkan kepada ‘urf masing-masing.
2.Khiyar Syarat
Pengertian khiyar syarat menurut ulama fiqih adalah:
“suatu keadaan yang membolehkan salah seorang yang melakukan akad atau masing-masing akid atau selain kedua pihak yang akad memilikil hak pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang ditentukan.”[4]
Misalnya seorang pembeli berkata,” Saya beli dari kamu barang ini,dengan catatan saya ber-khiyar (mempertimbangkan) selama sehari atau tigahari.”
Seperti sabda nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ لاَ خِلاَبَة 
”Jika kamu menjual sesuatu, maka katakan tidak ada penipuan.” (HR. Bukhari).”
Hadits ini adalah dalil tentang bolehnya menetapkan khiyar syarat kepada pembeli begitu juga dengan pembeli secara qiyas.
Dari sisi lain, terkadang memang amat dibutuhkan adanya hak pilih semacam ini, ketika pengalaman berniaga kurang dan perlu bermusyawarah dengan orang lain, atau karena alasan lainnya. Kemudian para ulama berbeda pendapat berkenaan dengan masa tenggang memutuskan pilihan tersebut. Ada di antara ulama yang membatasi hanya tiga hari saja. Ada juga yang menyatakan boleh lebih dari itu, tergantung kebutuhan.
Hak pilih persyaratan masuk dalam berbagai perjanjian permanen yang bisa dibatalkan. Adapun akad nikah, thalaq (perceraian), khulu’ (gugatan cerai dari istri) dan sejenisnya tidak menerima hak pilih yang satu ini, karena semua akad tersebut secara asal tidak bisa dibatalkan. Demikian pula hak pilih ini (khiyar syarat) tidak berlaku pada akad atau perjanjian yang tidak permanen seperti akad mudharabah (bagi hasil) dan akad syarikah (kontrak kerjasama dalam usaha)[5].
a.      Batas maksimal khiyar syarat
Dalam menentukan batas maksimal khiyar syarat para ulama berselisih pendapat sesuai dengan metode ijtihad masing-masing yaitu :
a).Madzhab hambali : masing-masing penjual dan pembeli berhak menetapkan persyaratan sesuka mereka,tanpa ada batas waktu.mereka beralasan bahwa hak mengadakan persyaratan adalah hak mereka berdua,sehingga bila keduanya rela mengadakan syarat hak untuk membatalkan dalam waktu lama, maka itu terserah kepada mereka berdua karena tidak ada dalil yang membatasinya.
b).Madzhab Hanafi dan Asy-Syafi’I: Lama hak yang dipersyaratkan tidak boleh lebih dari tiga hari,mereka mengambil dalil dari perkataan umar bin khattab berikut :
Umar bin Khattab berkata,”Aku tidak mendapatkan dalil yang menetapkan adanya persyaratan yang lebih lama disbanding yang ditetapkan oleh Rosulullah SAW untuk Habbban bin Munqiz,beliau menetapkan untuknya hak pilih selama tiga hari,bila ia suka ia meneruskan pembeliannya,dan bila tidak suka,maka ia membatalkannya,” (HR.Ad-Daruquthni dan Ath-Thabrani,dan dilemahkan oleh Hafidz ibnu Hajar)
c).Madzhab Maliki yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam ibnu Taimiyah: Lama hak pilih yang di syaratkan boleh lebih dari tiga hari sesuai dengan kebutuhan dan barang yang diperjual belikan,mereka beralasan bahwa hak semacam ini demi kemaslahatan masing-masing pihak yakni kemslahatan yang berkaitan dengan barang yang mereka perjual-belikan,sehingga harus disesuaikan dengan keadaan barang tersebut.
Dari sekian pendapat yang ada yangbterkuat adalah yang ketiga,sebab beragamnya barang yang diperjual-belikan,ada barang yang tahan lama dan ada pula yang bersifat sementara.
b.      Status Kepemilikan Barang Selama Masa Khiyar syarat
Para ulama berselisih pendapat tentang status barang setelah akad dan selama masa berlakunya khiyar :
a).Madzhab Hambali: Kepemilikan barang menjadi milik pembeli,hal ini didasarkan pada sabda Nabi SAW.
“Barang siapa yang menjual budak,dan budak tersebut memilki harta,maka           harta tersebut adalah milik penjual,kecuali bila pembelinya          mensyaratkannya.”(Mutaffaqun’ alahi)
Dan sabda beliau :
“Barang siapa yang menjual pohon kurma setelah dikawinkan,maka buahnya        adalah milik penjual,kecuali bila pembelinya mensayratkannya.”(Mutaffaqun      ‘alahi)
Mereka mmahami dari hadist di atas bahwa Nabi menghukumi Budak dan pohon kurma  yang diperjual belikan tersebut dengan sekedar terjadi akad, maka lansing menjadi milik pembeli,sebagai buktinya Nabi mengecualikan kepemilikan harta yang pernah dimiliki budak sebelum sebelum akad dan calon buah kurma yang telah dikawinkan,kedua hadist ini bersifat umum sehingga berlaku terhadap semua akad jual beli.
Selain itu mereka juga beralasan bahwa tujuan dari jual beli adalah pemindahan kepemiilkan,sehingga ketika akad jual beli tekah dilaksanakan secara lengkap dengan seluruh persyaratannya,maka lazimnya pemindahan kepemilikan barang tersebut telah tercapai.
b).Madzhab maliki : Kepemilikan barang masih tetap milik penjual,mereka             beralasan bahwa akad jual beli ini belum sepenuhnya selesai,karena masih ada   kemungkinan penjual dan pembeli membatalkan akad ini,sehingga akad ini   hamper serupa dengan akad tawar menawar,dikarenakan masing-masing dari          mereka masih memiliki kebebasan.
c).Madzhab Syafi’I: Menunggu kelanjutan akad ini,bila ternyata akad ini              tetap berlanjut,maka terbukti bahwa kepemilikan barang telah berpindah ke          tangan pembeli,dan bila akad ini dibatalkan,maka kepemilikan barang belim       berpindah dari tangan penjual,pedapat ini merupakan gabungan dari kedua             pendapat di atas.
Dari seluruh pendapat yang ada yang terkuat adalah pendapat yang pertama,karena di dasarkan pada nash yang jelas dan juga sesuai dengan kaidah fiqih,yaitu :
“Keuntugan itu sabagi imbalan atas tanggung jawab jaminan.”.
Dan juga kaedah berikut :
“Kerugian itu dibalas dengan keuntungan.”
Maksud dari kaedah ini adalah : Bila seseorang menangung jaminan atau pembiayaan suatu hal,maka dialah yang berhak menerima keuntungan yang dihasilkan hal tersebut. Dan dalam pearmasalahan ini,selama masa khiyar berlaku,pembelilah yang wajib bertanggung jawab(menangung jaminan) atas barang yang telah ia terima dari penjual,sebab barang itu telah ada ditangannya.Sehingga bila terjadi kerusakan pada suatu barang maka ialah yang wajib mennagunag kerusakannya.Dan pembeli berhak memiliki setiap pertambahan yang dihasilkan sesuatu yang akan dibeli,jika barngnya dapat bertambah.
Bila terjadi suatu kasus yaitu seorang pembeli yang memelihara ayam yang telah dibeli selama masa khiyar,pada saaat akad jual ayam dipasar Rp.30.000 dan ketika dipelihara menjadi gemuk dan bertambah harga menjadi Rp.40.000 lalu pakah pembeli berhak untuk meminta perbedaan harga jalu tersebut ?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat:
Dalam hal ini Syaikhul Imam Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa pembeli berhak menuntut perbedaan harga tersebut,sebab ayam tersebut menjadi gemuk karena dipelihara oleh pembeli,dan pembelilah yang bertangung jawab atas ayam itu selama proses bertambah gemuknya ayam tersebut,sehingga kaidah fiqih tersebut tetap berlaku.
Dalam akad khiyar seperti ini  barang diperjual-belikan dilarang pengambilan manfaatnya oleh kedua belah pihak,kecuali jika hanya untuk percobaan.Bila yang mengajukan perssyaratan hanya satu pihak,dan ia mengunakan atau menaawarkan barang itu dianggap sebagai pembatalan persyaratan khiyar yang ia ajukan[6].
3.Khiyar Aib/Cacat
Khoiyar aib adalah :
Asy-Syarbini berkata, “Khiyar cacat ialah khiyar yang disyariatkan karena tidak terwujudnya kriteria yang diinginkan pada barang baik diinginkan menurut kebiasaan masyarakat atau karena ada persyaratan atau karena ada praktek pengelabuhan… . Dan yang dimaksud dengan kriteria yang diinginkan menurut kebiasaan masyarakat ialah tidak adanya cacat pada barang tersebut.”[7]
Dasar hukumnya adalah :
1.      Hadits yang diriwayatkan dari Uqbah bin Amir Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلاَّ بَيَّنَهُ لَهُ
“Sesama muslim itu bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim lain, padahal pada barang tersebut terdapat aib/cacat melainkan dia harus menjelaskan (aib/cacat)nya itu”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Daraquthni, Al-Hakim dan Ath-Thabrani. Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata di dalam Fathul Bari, “Isnadnya jayyid (bagus)”. Lihat Majma’ Az-zawaid IV/80, dan Nailul Authar V/211).
2.     Dan di dalam riwayat yang lain, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):
مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنَّا
“Barangsiapa yang berbuat menipu, maka dia bukan termasuk golongan kami”. (HR. Muslim I/98 no. 101, 102, dari hadits Abu Hurairah).
Dan juga hadits Rasululloh yang berbunyi :
Dari Aisyah R.A. : Bahwa ada seorang lelaki yang membeli seorang budak, kemudian ia memperkerjakannya, lalu ia mendapatkan pada budak tersebut suatu cacat, sehingga ia mengembalikannya (kepadda penjual). Maka penjual mengadu kepada Rasululloh dan berkata : Wahai Rasululloh, sesungguhnya ia telah memperkerjakan buidakku? Maka beliu bersabda : “Keuntungan itu addalah tanggungjawab atas jaminan,”(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqy dan dihasankan oleh Al-Albani)
Sebagian ulama mengungkapkan definisi aib atau cacat yang dimaksud adalah: “ Setiap hal yang menyebabkan berkurangnya harga suatu barang.”
Dari definisi dan juga penjelasan sebelumnya dapat dipahami  bahwa cacatt yang dapat menjadi alasa untuk membatalkan penjualan adalah cacat yang terjadi pada barang sebelum terjadinya akad penjualan, atau disaat sedang akad penjualan berlangsung atau  sebelum barang diserah-terimakan kepada pembeli.



4. Khiyar Ru’yah
Yaitu khiyar bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau batal jual beli yang ia lakukan tehadap suatu objek yang belum ia lihat ketika akad berlangsung[8].
Jumhur ulama fiqh yang terdiri dari ulama hanafiya, malikiyah, Hanabilah, dan Zahiriyah menyatakan bahwa khiyar ru’yah disyari’atkan dalam islam berdasrkan sabda Rasullah saw, yang menyatakan:
ﺍﺸﺗﺭﻯ ﺸﻳﺌﺎ ﻠ ﻳﺭﻩ ﻓﻬﻭ ﺒﺎﻠﺨﻳﺎَﺭﺇِﺍﺭَﺁﻩََُ ( ﺭﻭﺍﻩﺍﺭﻗﻰﻋﺃﻫﺭﻴﺭﺓ)
 “Siapa yang membeli sesuatu yang belum ia lihat maka ia berhak khiyar apabila telah melihat barang itu”. (HR. Dar al-Quthni dari Abu Hurairah).
            Akad seperti ini, menurut mereka boleh terjadi, disebabkan objek yang akan dibeli itu tidak ada di tempat berlangsungnya akad, atau karena sulit dilihat seperti membeli HP yang masih baru, yang oleh penjualnya tidak boleh dibuka.
5. Khiyar Ta’yin
Yaitu hak pilih bagi pembeli dalam menentukan barang yang berbeda kualitasnya dalam jual beli. Contoh, pembelian keramik: ada yang bekualitas super dan ada yang berkualitas sedang. Akan tetapi, pembeli tidak mengetahui secara pasti mana keramik yang super berkualitas sedang. Untuk menentukan pilihan itu ia memerlukan ahli keramik dan arsitek. Menurut ulama Hanafiyah khiyar ini boleh, dengan alasan bahwa produk sejenis yang beda bebeda kualitasnya sangat banyak, yang kualitas itu tidak diketahui secara pasti oleh si pembeli, sehingga ia memerlukan bantuan seorang pakar agar pembeli tidak tertipu, maka khiyar ta’yin dibolehkan[9].
Akan tetapi, jumur ulama fiqh tidak menerima keabsahan khiyar ta’yin yang dikemukakan ulama Hanafiyah ini. Alasan mereka, dalam akad jual beli ada ketentuan bahwa barang yang diperdagangkan (al- sil’ah) harus jelas, baik kualitasnya maupun kuantitasnya.    


BAB III
HUKUM DAN HIKMAH KHIYAR
A.    Hukum-hukum terkait tentang Khiyar
1.      Dalil pensyariatan Khiyar
Hak khiyar telah ditetapkan oleh al-Qur’an, Sunnah, dan ijma;
Adapun dalil al-Qur’an sebagaimana firman Allah:
 ﹶﺃﹶﺤﹶﱠﱠﭐﻠﻟﹶﹶﻪﹸﹸﭐﻠﹾﺒﹶﻳ‏ﹾﻊﹶ
Allah telah menghalalkan jual beli. (Qs. Al-Baqarah (2): 275)
Lafad jual beli dalam ayat ini adalah umum meliputi semua akad jual beli, dengan begitu ia menjadi mubah (boleh) untuk semua termasuk di dalamnya ada khiyar[10].
Dasar disyariatkannya hak pilih ini adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا أَوْ يَخْتَارَا
“Sesungguhnya dua orang yang melakukan jual beli mempunyai hak khiyar dalam jual belinya selama mereka belum berpisah, atau jual belinya dengan akad khiyar.” (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari IV: 326 no: 2107, Muslim III: 1163 no: 1531 dan Nasa’i VII: 248).
Adapun dalil ijma’, ulama telah sepakat tentang bolehnya melakukan khiyar syarat dalam jual beli, kaena akad jual beli adalah akad mubah dan bolehnya jual beli termasuk sesuatu yang sudah diketahui dari urusan agama secara pasti, dengan beitu khiyar juga termasuk di dalamnya

2.      Hukum Membatalkan Akad Penjualan
Dari pembahasan tentang macam-macam khiyar diatas dapat dipahami dengan jelas, bahwa orang yang telah mengadakan akad jual beli dan ia masih memiliki hak khiyar, maka ia berhak untuk  membatalkan akad jual belinya walau tanpa seizing dan tanpa kerelaan lawan transaksinya, dan juga tanpa sepengetahuan lawan transaksinya, hal ini  sebagaimana dinyatakan dalam suatu kaidah ilmu fiqih :
Orang yang kerelaannya tidak dianggap, maka pengetahuannya tidak diisyaratkan.”
Membatalkan akad penjualannya atas seizin dan kerelaan dari lawan transaksinya. Dan murut syariat ialam lawan transaksinya tersebut dianjurkan untuk menerima per mintaan tersebut, sebaagaiman disabdakan oleh nabi muhammad :
Dari sahabat Abu Hurairoh RA. Ia menuturkan : rasululloh bersabda : “ barang siapa yang menerima pembatalan jual beli seorang muslim, maka Alloh akan mengampuni kesalahannya kelakm pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah Ibnu Hiban, Al-hakim dan di shahihkan oleh Al-Albani.)
Menurut ulama Hanafiyah cara pembatalan cukup dengan lisan dengan syarat diketahui oleh pemilik barang,baik pemilik barang rida ataupun tidak.Sebaliknya,jika pembatalan tidak diketahui oleh penjual,baik khiyarnya berasal dari penjual ataupun pembeli,pembatalan ditangguhkan sampai diketahui penjual.apabila habis waktu khiyar dan penjual tidak mengetahuinya,akad menjadi lazim.
Ulama Malikiyah,Hanbaliyah,Syafi’iyah berpendapat bahwa apabila khiyar bersal dari pembeli,pembatalan dipandang sah walaupun tidak diketahui penjual.hal ini karena adanya khiyar menunjukkan bahwa penjual rela apabila pembeli membatalkan kapan saja pembeli membatalkannya.
3. Hukum akad pada masa khiyar
1. Ulama Hanafiyah perpendapat bahwa tidak terjadi akad pada jual-beli yang mengandung khiyar,tetapi ditunggu sampai gugurnya khiyar.
2. Ulama Malikiyah dalam riwayat Ahmad,Barang yang ada pada masa khiyar masih milik penjual,sampai gugurnya khiyar,sedangkan pembeli belum memiliki hak sempurna terhadap barang[11].
3.Ulama Syafi’iyah berpendapat,jika khiyar syarat berasal dari pembeli,barang menjadi milik pembeli.Sebaliknya jika khiyar syarat menjadi milik penjual,barang menjadi milik penjual.Jika khiyar berasal dari keduanya,ditunggu sampai jelas (gugurnya khiyar)[12].
4. Ulama Hanbaliyah,dari siapapun khiyar berasal,barang tersebut menjadi milik pembeli.Jual-beli dengan khiyar,sama seperti jual beli lainnya,yakni menjadikan pembeli sebagai pemilik barang yang tadinya milik penjual[13].
 Mereka mendasarkannya pada hadist Nabi SAW.dari ibnu Umar ;
’’Barang siapa yang menjual hamba yang memilki harta maka harta tersebut milik penjual,kecuali bila pembeli mensyaratkannya.”
Dari hadist tersebut,Rosulullah SAW.menetapkan bahwa harta menjadi milik pembeli dengan adanya syarat.
B.     Hikmah khiyar
1.    Hikmah umum
            Khiyar disyariatkan untuk menjaga kedua belah pihak berakad, atau salah satunya dari konsekuensi satu akad yang ia lakukan tanpa terlebih dahulu memastikan keinginannya untuk meneruskan akad atau tidak karena tidak ada pengalaman dalam menjual dan membeli  apalagi tidak semua orang bisa melakukan itu, terkadang akad tidak mengandung unsur penipuan dan dusta dengan begitu ridha tidak sempurna belum cukup sehingga dia ingin membatalkan akad.
            Dalam buku lain diungkapkan bahwa hikmah khiyar sebagai berikut:
1)      Khiyar dapat membuat akad jual beli berlangsung menurut prinsip-prinsip Islam, yaitu suka sama suka antara penjual dan pembeli.
2)      Mendidik masyarakat agar berhati-hati dalam melakukan akad jual beli, sehingga pembeli mendapatkan barang dagangan yang baik atau benar-benar disukainya.
3)      Penjual tidak semena-mena menjual barangnya kepada pembeli, dan mendidiknya agar bersikap jujur dalam menjelaskan keadaan barangnya.
4)      Terhindar dari unsur-unsur penipuan, baik dari pihak penjual maupun pembeli, karena ada kehati-hatian dalam proses jual beli.
5)      Khiyar dapat memelihara hubungan baik dan terjalin cinta kasih antara sesama[14].  

2.    Hikmah bagi penjual
       Mendapatka keiklasan dan tidak di anggap menipu oleh si pembeli, bersikap jujur dan terhindar dari teransaksi yang dilarang oleh agama. Bukan hanya itu saja, khiyar juga dapat mempererat tali persaudaraan antara sesama, dan mendapatkan kepercayan dari si pembeli.
3.    Hikmah bagi pembeli
       Mendapatkan barang yang dia suka tanpa ada rasa tertipu, rasa ikhlas dalam berteransaksi, serta rasa aman pada barang yang dia mau beli.












BAB IV
KESIMPULAN
                Secara etimologi, al- khiyar berarti pilihan.secara terminologi,khiyar yaitu mencari kebaikan dari dua perkara,melangsungkan atau membatalkan (jual beli).atau,hak hak yang menentukan pilihan dua hal bagi pembeli dan penjual,apakah akad jual beli akan teruskan atau dibatalkan.
                Hukum khiar dalam pandangan ulama fiqh mubah (dibolehkan),karena suatu keperluan yang mendesak dalam mempertimbangankan kemaslahatan masing masing pihak yang transaksi.
Macam-macam khiyar:
a.       Khiyar majlis,
b.      Khiyar’Aib
c.       Khiyar ru’yah
d.      Khiyar syarat
e.       Khiyar ta’yin
                Di antara hikmah khiyar adalah dapat membuat akad jual beli berlangsung menurrut prinsip-prinsip islam terus mendidik masyarakat agar berhati-hati dalam melakukan akan jual beli, dan penjual tidak semena-mena menjual barang dagangannya kepada pembeli barang yang cacat sehingga pembeli mendapatkan barang deagangan yang baik atau benar-benar disukainya.











DAFTAR PUSTAKA

Abdul rahman ghazali, Ghufron ihsan, dan sapiudin shidiq, fiqh muamalat(jakarta: kencana,2010) cet ke-1
Abdul Aziz Muhammad azzam, fiqh muamalat(jakarta: Amzah, 2010) cet ke-1
Ad-dasuki,Syarh kabir wa hasyiyatuhu,Juz III.
Hendi Suhendi,fiqh muamalah(jakarta,Raja Grafindo,2010).hlm.83
Ibn Qudamah,Al-Mughni,Juz III.
Muhammad Asy-Syarbini,Mughni Al-Muntaj,Juz II
Sayyid Sabiq, Fiqhu As-Sunnah, juz III






[1] Abdul rahman ghazali, Ghufron ihsan, dan sapiudin shidiq, fiqh muamalat(jakarta: kencana,2010) cet ke-1 hlm.97
[2] Muhammad azzam abdul aziz, fiqh muamalat(jakarta: Amzah, 2010) cet ke-1 hlm.99
[3] Suhendi hendi,fiqh muamalah(jakarta,Raja Grafindo,2010).hlm.83
[4]Muhammad azzam abdul aziz, fiqh muamalat(jakarta: Amzah, 2010) cet ke-1. hlm.100

[5]Fiqhu As-Sunnah, karya Sayyid Sabiq juz III hlm.177.
[6] Baca Asy-Syahrul mumti’,oleh Ibnu utsaimin,8/290-dst.
[7] Suhendi hendi,fiqh muamalah(jakarta,Raja Grafindo,2010).hlm.84
[8] Abdul rahman ghazali, Ghufron ihsan, dan sapiudin shidiq, fiqh muamalat(jakarta: kencana,2010) cet ke-1 hlm101
[9] Ibid.hlm.103
[10] Muhammad azzam abdul aziz, fiqh muamalat(jakarta: Amzah, 2010) cet ke-1. hlm.100
[11] Ad-dasuki,Syarh kabir wa hasyiyatuhu,Juz III.hlm.103
[12] Muhammad Asy-Syarbini,Mughni Al-Muntaj,Juz II.hlm.259
[13] Ibn Qudamah,Al-Mughni,Juz III.571
[14] Abdul rahman ghazali, Ghufron ihsan, dan sapiudin shidiq, fiqh muamalat(jakarta: kencana,2010) cet ke-1 hlm104